Karyawan TikTok di AS berencana menggugat Presiden Donald Trump. Sebab, sang presiden merilis perintah yang bisa membuat manajemen TikTok tidak bisa menggaji para karyawannya di AS.
Pekan lalu, Presiden Trump mengeluarkan perintah eksekutif yang melarang transaksi keuangan pihak AS dengan ByteDance, perusahaan China yang memiliki TikTok, serta berbagai anak perusahaannya.
Dilansir dari CNet, perintah tersebut, yang akan berlaku mulai 20 September, juga secara efektif akan melarang aplikasi video pendek itu beroperasi di AS jika ByteDance tidak menjual TikTok.
Microsoft sedang bernegosiasi untuk membeli layanan TikTok di AS, Kanada, Australia, dan Selandia Baru. Negosiasi direncanakan selesai pada 15 September, sebelum batas waktu perintah eksekutif itu.
Mike Godwin, seorang pengacara hak internet, mengatakan dalam sebuah tweet pada hari Kamis (13/8/2020) bahwa dia adalah salah satu pengacara yang menangani gugatan terhadap pemerintahan Trump.
“Saya percaya bahwa pemerintah AS dengan perintah eksekutif yang berlebihan, telah mengancam hak-hak konstitusional karyawan, termasuk hak untuk dibayar,” cuitnya.
Dalam sebuah wawancara, Godwin mengatakan perintah eksekutif itu melanggar Amandemen ke-5 dan ke-14 Konstitusi AS, yang menyatakan bahwa tidak ada yang akan “dirampas kehidupannya, kebebasannya, atau propertinya tanpa proses hukum.”
Gugatan itu bisa diajukan akhir pekan depan. “Ini pada dasarnya adalah proses klaim yang wajar, tetapi ada beberapa klaim hukum ketenagakerjaan yang mungkin juga relevan,” kata Godwin, yang bekerja dengan Blackstone Law Group di New York.
Godwin disewa oleh Patrick Ryan, seorang karyawan TikTok, yang menggelar kampanye GoFundMe untuk mengumpulkan $ 30.000 “agar pengadilan dapat menggagalkan perintah Trump, sehingga TikTok tetap dapat membayar karyawannya di AS.”
Di laman GoFundMe dan dalam video TikTok, Ryan mengatakan sebanyak 1.500 karyawan ByteDance dan karyawan TikTok terancam kehilangan gaji mereka mulai 20 September.
Lebih dari $ 11.200 telah dikumpulkan untuk kampanye itu. Perusahaan TikTok juga sedang menyiapkan gugatan terpisah terhadap pemerintahan Trump, yang juga diperkirakan akan menuduh bahwa perintah tersebut tidak konstitusional.
Sementara itu, pihak perusahaan TikTok mengatakan tidak terlibat dalam gugatan para karyawannya itu.
TikTok mengatakan data pengguna AS tidak disimpan di China dan tidak akan menyerahkan data pengguna ke pemerintah China, bahkan jika diminta untuk melakukannya.
Pemerintahan Trump juga mengeluarkan perintah eksekutif terpisah yang akan melarang aplikasi perpesanan WeChat di AS.
Pada hari Kamis (13/8/2020), Sekretaris Pers Gedung Putih, Kayleigh McEnany, membela perintah eksekutif Trump selama konferensi pers. “Pemerintah berkomitmen untuk melindungi rakyat Amerika dari semua ancaman dunia maya,” katanya.
“Aplikasi ini mengumpulkan sejumlah besar data pribadi pengguna, dan informasi semacam itu dapat diakses dan digunakan oleh Republik Rakyat China. TikTok memiliki sejarah yang terdokumentasi dalam menyensor kebebasan berbicara agar sesuai dengan propaganda Partai Komunis China.”
Dalam sebuah posting blog minggu lalu, TikTok mengatakan pihaknya “terkejut” dengan perintah eksekutif Trump dan bahwa perintah itu “dikeluarkan tanpa proses yang seharusnya.”
Perintah eksekutif administrasi Trump muncul setelah India melarang TikTok dan lusinan aplikasi China lainnya karena masalah keamanan nasional.
Dalam keterangannya, administrasi Trump mengatakan data pengguna yang dikumpulkan TikTok “bisa diambil Partai Komunis China untuk mengakses informasi pribadi dan hak milik orang Amerika, serta memungkinkan China melacak lokasi karyawan dan kontraktor Federal, membuat berkas informasi pribadi untuk memeras, bahkan melakukan spionase perusahaan.”
Ketika ditanya tentang perintah eksekutif yang dikeluarkannya, Trump mengatakan pemerintah AS menginginkan “keamanan total”.
“Kami tidak ingin informasi apa pun masuk ke China,” ujar Trump.
Leave a Reply