Kuliah tentang bio-informatika itu baru berjalan kurang dari 30 menit, namun tiba-tiba terhenti. Ada apa?
Sejak awal tahun 2020, di seluruh China, sekolah ditutup tanpa batas waktu. Apalagi kalau bukan karena virus Corona yang mewabah, dan telah menewaskan lebih dari 3.000 orang.
Kelas yang terhenti itu adalah salah satu dari puluhan ribu kelas, dari sekolah dasar hingga universitas, yang terpaksa dijalankan secara online. Corona membuat pemerintah setempat melarang berkumpulnya manusia, seperti di sekolahan, agar tidak terjadi penularan yang lebih massif.
Profesor Chu Xinjian –yang kelasnya tiba-tiba terhenti itu– sebelumnya mengirimkan rekaman suara ke grup online kelas, namun tanpa peringatan, sistem internet menghentikan kelompok belajar itu karena dianggap melanggar peraturan.
Para siswa bingung. Apakah itu karena topik yang sedang dibahas? Bio-informatika adalah ilmu yang mengumpulkan dan menganalisis data biologis yang kompleks.
“Saya tidak yakin frasa apa yang memicu penghentian itu,” kata Chu, yang menceritakan kejadian itu seperti dilansir kantor berita AP. “Kurasa kita sudah menyerempet beberapa topik sensitif.”
Media sosial Facebook, YouTube, dan Twitter diblokir di China. Sementara medsos buatan dalam negeri seperti Weibo dan WeChat dipantau secara ketat oleh otoritas China.
Kelas biologi banyak disensor untuk konten yang dianggap pornografi. Sedangkan kelas sejarah dan politik termasuk yang paling rentan, karena ada topik bahasan menyangkut Revolusi Kebudayaan (runtuhnya kepemimpinan monarki dan naiknya komunisme) serta Lompatan Jauh ke Depan (politik pemimpin China untuk memajukan negara dengan sistem ekonomi kapitalis).
“Kelas berhenti (karena Corona) tetapi pembelajaran tidak,” kata Kementerian Pendidikan China di bulan Februari.
Telah terbentuk 24.000 kelas online gratis di 22 platform web, yang mencakup disiplin sarjana dan kejuruan. Namun, seperti diuraikan di atas, banyak kegiatan belajar dan mengajar yang terkena sensor.
Louis Wang, seorang guru sejarah sekolah menengah di timur laut China, mengatakan beban kerjanya meningkat karena proses persetujuan (approval) yang sulit untuk materi yang akan diajarkan di kelas online.
“Setiap kata yang diucapkan dalam rekaman video harus disetujui sebelumnya,” kata Wang.
Itu berarti ia harus menulis kata demi kata seluruh ceramahnya –sekitar 5.000 karakter China– untuk ditinjau oleh administrator sekolah.
Wang mengatakan salah satu rekannya, seorang dosen politik, sedang mencoba mengunggah dokumen untuk murid-muridnya dengan tema ‘sosialisme dengan karakteristik China’.
Ungkapan itu diperjuangkan oleh mantan pemimpin China, Deng Xiaoping, dan masih sering digunakan oleh pemerintah saat ini. Namun, tanpa penjelasan, platform cloud memblokir dokumen itu. Unggahan baru bisa dilakukan setelah frasa ‘politik yang terbuka’ dihapus.
Sementara itu, pada aplikasi perpesanan WeChat, dokumen bisa ditolak untuk dikirim ke obrolan grup jika file gagal dalam “inspeksi keamanan.”
Namun, dokumen yang sama seringkali bisa dibagikan lewat pesan langsung, sehingga beberapa guru terpaksa mengirim file ke orang tua dan siswa satu per satu.
“Materi dari guru bisa membuat kelas online mereka diblokir, itu lucu, karena terlalu absurd,” ujar Wang Yuechi, seorang komedian China yang terkenal.
“Ini tidak normal karena tidak ada kebebasan berbicara,” tulisnya. “Tidak adanya kebebasan berbicara akan berdampak pada pendidikan kita, kehidupan kita. Ini sudah terjadi. Tidak lucu, kan?”
Namun, ini mungkin lucu, tidak setiap penghentian kelas online diakibatkan sensor. Terkadang kesulitan teknis adalah penyebabnya. Cheng Yufan, seorang mahasiswa di provinsi selatan Jiangsu, secara tidak sengaja menjadi tuan rumah sebuah ceramah pada hari pertama kelas online bulan lalu.
Ketika kelas akan dimulai, profesor filsafatnya tidak muncul. Ternyata profesor itu tanpa sengaja terseret ke platform yang berbeda. Tak pelak, masalah koneksi internet itu mengakibatkan Cheng dan teman-teman sekelasnya menjadi hening dan tanpa guru selama dua jam. Tiba-tiba, muncul tulisan dari sang profesor, “Sampai jumpa lagi!”
(Foto: china.org.cn)
Leave a Reply