Wabah Corona mengharubirukan nasib banyak orang. Salah satu contohnya, pekerja kapal India yang tidak bisa pulang meski sudah berbulan-bulan terdampar di lepas pantai akibat lockdown. Mereka dilarang menginjakkan kaki meski hanya di pelabuhan sekali pun.
Virus Corona telah menyebabkan lebih dari 200.000 pelaut terjebak nasib malang.
Mereka terdiri dari para insinyur di kapal kargo hingga pelayan di kapal pesiar mewah. Pekerja berbasis samudra di seluruh dunia telah terperangkap dalam apa yang diperingatkan oleh PBB “potensi krisis kemanusiaan”.
PBB melaporkan sudah ada beberapa kasus bunuh diri karena mereka tidak tahan hidup seperti itu.
Corona membuat rotasi kru yang normal tidak bisa dilakukan. “Secara mental saya tidak sanggup… tapi saya masih bertahan karena tidak punya pilihan lain,” ujar Tejasvi Duseja, 27 tahun kepada AFP melalui WhatsApp dan Facebook Messenger pada akhir Juni. Kapal kargo milik India tempatnya bekerja sedang mengapung dekat perairan Malaysia.
Duseja, salah satu dari sekitar 30.000 pekerja India yang tidak bisa meninggalkan kapal mereka, telah memperpanjang kontrak kerja tujuh bulannya beberapa bulan sebelum pandemi melanda.
“Terakhir kali saya turun dari kapal sepanjang 200 meter ini adalah pada bulan Februari,” katanya.
Pelaut biasanya bekerja selama enam hingga delapan bulan berturut-turut sebelum turun dan terbang kembali ke negara asal mereka, kemudian awak baru menggantikan mereka.
KTT Maritim Internasional yang digelar di Inggris bulan Juli ini berusaha merotasi mereka, namun belum berhasil seluruhnya.
Kasus lainnya, teknisi kapal pesiar mewah Filipina –Cherokee Capajo– menghabiskan hampir empat bulan di kapal tanpa menginjakkan kaki di darat karena pandemi.
Pria berumur 31 tahun ini hampir tidak pernah mendengar tentang COVID-19 ketika naik ke kapal pesiar Carnival Ecstasy di Florida pada akhir Januari. Namun tak lama kemudian Carnival Ectasy terserang wabah corona, berbarengan dengan kapal pesiar Jepang, Diamond Princess.
Setelah penumpang Ecstasy turun di Jacksonville pada 14 Maret, Capajo dan rekan-rekannya dipaksa untuk tetap di kapal selama tujuh pekan berikutnya.
Akhirnya, pada 2 Mei, kapal berlayar ke Bahama tempat Capajo dan 1.200 awak kapal dipindahkan ke kapal lain yang membawa mereka ke Jakarta, lalu kemudian tiba di Teluk Manila pada 29 Juni.
Dia ingin “mencium tanah” ketika tiba di darat hampir dua pekan kemudian setelah menyelesaikan karantina.
“Ini mungkin bagian tersulit dari pengalaman saya sebagai pelaut karena tidak yakin apa yang akan terjadi setiap hari,” kata Capajo kepada AFP melalui Facebook Messenger pekan lalu, ketika ia mengalami karantina kedua di dekat kota kelahirannya di Filipina tengah
Orang Filipina menguasai populasi seperempat pelaut dunia. Dan sekitar 80.000 dari mereka terdampar karena pandemi, menurut pihak berwenang Filipina.
Dalam satu kasus, seorang pekerja Filipina meninggal karena “melukai diri sendiri” di kapal pesiar Scarlet Lady saat berlabuh di Florida pada bulan Mei, menurut Penjaga Pantai AS.
Kelompok industri pelayaran telah menyatakan keprihatinan mereka tentang “bunuh diri dan melukai diri sendiri” di antara para pekerja dalam surat bersama kepada Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres, yang mengatakan bulan lalu beberapa pelaut telah “terdampar di laut selama 15 bulan”.
Konvensi Organisasi Buruh Internasional (ILO) membatasi lama kerja seseorang di laut tak lebih dari 12 bulan.
Ketegangan juga dirasakan keluarga yang menunggu di rumah. Priyamvada Basanth mengatakan dia tidak tahu kapan dia akan melihat suaminya yang telah melaut selama delapan bulan di sebuah kapal milik perusahaan Hong Kong.
“Pemerintah bahkan tidak melakukan apa-apa,” kata Basanth, dari pelabuhan India selatan Kochi. “Aku hanya ingin dia pulang.”
Lala Tolentino, yang menjalankan kantor Filipina untuk kelompok pendukung pelaut yang berbasis di Inggris, mengatakan mereka telah dibanjiri oleh “ratusan” permintaan bantuan dari pekerja yang terdampar sejak Maret.
“Mereka ingin tahu apa yang akan terjadi pada mereka, dan ke mana mereka pergi. Apakah mereka bisa turun dari kapal mereka atau tidak,” katanya kepada AFP.
Banyak dari mereka yang terjebak dalam perjalanan menyelesaikan tur mereka lebih dari empat bulan lalu dan kelelahan, kata ILO.
Bagi Duseja, yang berasal dari kota Dehradun di India utara di kaki pegunungan Himalaya, akhir dari cobaannya sudah terlihat. “Saya masih di kapal,” katanya kepada AFP dalam pesan WhatsApp pekan lalu. “Tetapi secara mental, saya merasa sedikit lebih baik karena saya diberitahu bahwa saya akhirnya akan turun dari kapal pada pertengahan Agustus.”
Leave a Reply