Membaca buku ini, kita diantar untuk memahami sebuah babak penting di dalam perjalanan sejarah industri otomotif Indonesia. Babak ketika seorang Johnny Darmawan menjadi pemain utamanya. Akan tetapi, buku ini juga memberi narasi yang berbeda ketika sang tokoh terlihat sebagai manusia, yang tentu saja, tidak sempurna.
“Bacalah!” Demikian perintah pertama Tuhan kepada Muhammad SAW. Padahal, sang nabi adalah seorang yang tidak bisa membaca. Ia buta huruf.
Sepintas terasa seperti paradoks. Terasa seperti main-main.
Tetapi, Jibril (Gabriel) sang malaikat pembawa wahyu, tetap mengatakan, “Bacalah!”
Berbagai penafsiran muncul dari peristiwa pertemuan pertama itu. Misalnya, membaca bukanlah menelusuri aksara demi aksara, melainkan menelisik setiap kejadian di alam ini, dan menjadikannya hikmah. Ada juga yang menafsirkannya sebagai perintah mempelajari manusia lain dan mengambil inspirasi darinya. Dan masih banyak pemaknaan lainnya.
Johnny Darmawan bukanlah muslim. Namun, ia sangat percaya kepada Tuhan Yang Mahaesa. Kepercayaan yang menebal dari peristiwa “mati suri” yang dialaminya paska kecelakaan lalu lintas di masa mudanya.
Ia naik motor layaknya anak muda di masanya, namun kalah oleh sebuah becak yang bergerak lambat. Johnny menyenggolnya dan terpelanting. Tak kurang dari satu bulan lamanya ia harus berbaring di ranjang rumah sakit. Ia mengaku bisa melihat dan mendengar orang tuanya yang menjaga dan menangis di dekatnya, padahal saat itu ia tak sadarkan diri.
“Saya jadi mengetahui dan percaya bahwa manusia memiliki dua alam, yakni alam fisik dan non fisik (alam ruh). Kejadian itu menjadikan saya percaya sekali bahwa di balik diri kita ada kekuatan yang lebih tinggi, yakni kekuatan Ilahi, kekuatan Tuhan Yang Mahakuasa,” papar Johnny.
Spiritualitas semakin menyelimutinya manakala sang ayah -pengusaha sukses di masanya– wafat dan kondisi ekonomi keluarga yang ditinggalkan merosot drastis. Sebab peninggalan sang ayah yang tidak sedikit justru dikuasai orang-orang lain.
“Pengalaman ini juga yang menguatkan saya untuk menghadapi kenyataan pahit setelah papa meninggal, yakin bahwa semua ini titipan-Nya. Orangtua saya boleh saja kaya, tapi begitu meninggal kekayaan itu bisa hilang. Terlepas apa itu karena ditipu atau ditelikung orang, fakta yang saya hadapi ialah semua kekayaan papa tidak ada yang menjadi warisan bagi kami. Kalau Tuhan menghendaki sesuatu, pasti itu yang akan terjadi,” ujarnya.
Johnny Darmawan memang mau membaca! Bukan hanya membaca buku atau ilmu hingga mengantarnya menjadi sarjana akuntansi dan menjadi CEO legendaris yang diakui dunia. Bacaan yang lebih penting yang dilakukan Johnny adalah membaca manusia di sekitarnya.
Pria yang lahir tahun 1952 ini sejak kecil tidak memilih-milih teman. Digambarkan bagaimana ia lahir dan tumbuh di kawasan Bungur, Jakarta Pusat, yang keras.
Saat Johnny remaja, kondisi sosial dan ekonomi Jakarta masih labil dan masih dipengaruhi iklim politik paska G30S/PKI.
Namun, dikisahkan bagaimana ia berteman dengan anak kolong hingga preman jalanan di sekitar kawasan Senen, Jakarta Pusat, yang berdekatan dengan tempat tinggalnya.
Meskipun besar di lingkungan keras, Johnny bisa menikmati suasana itu. Tidak ada rasa takut. Dia bisa bergaul dengan siapa saja. Lingkungan masa kecil dan remaja yang seperti itu membuat Johnny menjadi sosok yang egaliter, tidak pernah melihat perbedaan ras, suku, agama, maupun kelas sosial. Bahkan, perbedaan itu terasa mengasyikkan baginya, yang pada akhirnya membentuk salah satu prinsip utama dalam hidupnya.
Di dalam buku ini, Johnny bahkan dikutip mengatakan, “Lihatlah perbedaan dari sisi positif, maka kita tak akan pernah merasa sendiri. Lingkungan akan menerima kita dengan baik. Saya sadari, pergaulanlah yang menjadi salah satu modal utama menjalani hidup sampai sekarang. Dari kalangan mana pun, kalau bisa berteman, saya berteman.”
Kemampuan membaca manusia itu pula yang mengantarkan Johnny memilih bergabung dengan Multi Astra, sebuah awal dari perjalanan panjang (32 tahun) kariernya di Astra.
Ia mengaku bergabung ke perusahaan itu karena melihat sosok William Soeryadjaya –pendiri grup Astra– sebagai seseorang yang nasionalis dan memiliki visi yang bagus.
Dan memang benar, Johnny tidak salah membaca. Kariernya melaju pesat di Astra. Hanya dalam waktu 10 tahun sejak awal bergabung, ia sudah menduduki posisi Direktur Keuangan PT Toyota Astra Motor (TAM).
Yang menarik, tiga tahun kemudian (1996), kemampuannya membaca manusia telah membuat pucuk pimpinan TAM menambah tugasnya dengan menangani urusan HRD. Johnny yang merasa berlatar belakang finance awalnya merasa ragu. Namun, di bawah tangan dinginnya, hubungan perusahaan dengan serikat pekerja semakin baik.
“Pak Johnny tidak pernah meremehkan persoalan. Apa pun keluhan serikat pekerja selalu ditanggapi dengan serius dan terbuka,” ujar Syarifuddin Podungge, eks aktivis Serikat Pekerja Toyota Indonesia.
Kemampuan Johnny membaca manusia kembali diuji ketika TAM terpaksa harus mengurangi hampir separuh karyawannya akibat krisis moneter pada tahun 1998. Dan Johnny berhasil menyelesaikan masalah ini tanpa riak yang mengganggu.
Untuk selanjutnya, kita akan disuguhi kisah sukses Johnny memimpin Toyota Astra Motor sebagai presdir dalam kurun 2002-2014. Bagaimana ia melejitkan penjualan mobil Toyota hingga lima kali lipat, dari 84.000 unit pada 2003 menjadi 434.000 unit pada 2013.
Johnny juga dianggap sebagai sales person Toyota terbaik di dunia, karena selama 12 tahun kepemimpinannya berhasil menjual 2,7 juta unit mobil Toyota.
Selain itu sejak 2010 Indonesia tercatat masuk ke dalam lima besar Toyota Global dari segi penjualan.
Bukan itu saja, buku bergaya bahasa enak dibaca ini juga mengisahkan kiprah kekinian Johnny di Kadin Indonesia, Apindo, dan KEIN (Komite Ekonomi dan Industri Nasional).
Banyak pula kesaksian tokoh-tokoh nasional tentang Johnny yang diungkapkan di sini. Misalnya, Jusuf Kalla, Fahmi Idris, TP Rahmat, Jahja Setiaatmadja, Surya Sasmita, Benny Soetrisno, dan lain-lain. Mereka adalah sahabat yang mengenal Johnny dengan baik.
Lalu di mana ketidaksempurnaan seorang Johnny Darmawan?
Buku yang disunting Masmimar Mangiang ini menuliskan, “Pengalaman pahit sepeninggal ayah kandungnya memberi pelajaran berharga bagi Johnny. Sepeninggal ayahnya, Johnny makin menyadari bahwa tidak ada manusia yang sempurna. Dalam semangat tidak ada manusia yang sempurna inilah, lahir berbagai sikap rendah hati, saling menghargai, pantang menyerah, bersyukur karena merasa apa yang diraihnya adalah anugerah Yang Maha Kuasa. Kesadaran itulah yang membuat Johnny berupaya untuk melihat berbagai kekurangan yang ada pada mereka yang bekerja sama dengan dia bukan sebagai sebuah penghambat.”
Bagi Johnny, seperti dirinya, pada masing-masing orang akan selalu ada kekurangan, sehingga tidak perlu dipermasalahkan. Dia yakin, asalkan ada semangat mau berubah dan kerja keras, setiap orang akan dapat menutupi kekurangannya dengan baik dan berkembangnya menjadi positif.
Seperti diungkapkan oleh Public Relations Manager PT Toyota-Astra Motor Rouli Sijabat, Johnny selalu menekankan bahwa setiap orang pasti bisa berubah, asalkan mau mengakui dan memperbaiki kekurangan yang ada pada dirinya.
“Setiap orang pasti berubah, asalkan ada kemauan yang kuat dan lingkungan kerja yang kondusif. Tugas pimpinan antara lain adalah menjaga lingkungan itu dan memberi dorongan kepada tim untuk mencapai prestasi secara bersama-sama,” kata Rouli mengutip pesan yang sering disampaikan Johnny.
Dan pada akhirnya, kita boleh membaca dan merenungkan ucapan Johnny yang satu ini.
“Dari apa yang kita capai, hanya 20 persen dari upaya kita, sedangkan 80 persen adalah dari Yang Kuasa.”
Itulah ketidaksempurnaan sebagai manusia yang diakui Johnny Darmawan. Dan kita bisa menjadikannya inspirasi. Blarr!
Judul buku Johnny Darmawan, Cerita Tentang Etos Bisnis
Penulis Herman Effendi
Penyunting Masmimar Mangiang
Penerbit Kompas
Harga buku Rp 89.000
Jumlah halaman 236
* Silakan klik logo Autoblarr di atas untuk kembali ke home page dan melihat berbagai artikel menarik lainnya
Wah sepertinya bukunya keren dan patut dibaca.