Beberapa waktu lalu, tepatnya di tanggal 31 Mei 2020, Autoblarr.com memuat sebuah artikel berjudul ‘Luar Biasa Tantangan Mencari Air Terjun yang Nyaris ‘Peraw4n’ (judul aslinya tidak memakai angka 4 melainkan huruf a).
Sekitar dua hari setelah artikel itu ter-publish, masuk e-mail dari Google Adsense yang memberitahukan bahwa ada sebuah artikel di autoblarr.com yang melanggar (violation) kebijakan Google Adsense.
Artikelnya tidak secara spesifik disebutkan. Namun kami mengetahui bahwa yang dianggap melanggar adalah artikel soal ‘air terjun yang nyaris peraw4n’. Sebab artikel itu tidak dapat kami boost di halaman Facebook. Sedangkan artikel lain bisa di-boost.
Akhirnya kami mengganti kata ‘peraw4n’ dengan ‘tak terjamah’.
Kami menghormati kebijakan Google Adsense. Hanya saja, sayangnya tidak ada pemberitahuan yang jelas dan rinci. Apalagi hak jawab atau hak memberi penjelasan bahwa artikel itu tidak membicarakan wanita/perempuan, melainkan air terjun.
Penasaran dengan “keramatnya” kata ‘peraw4n’, kami pun bertanya kepada orang yang sudah sejak kama mengikuti perkembangan feminisme (kajian perempuan dan persamaan gender).
“Kenapa kamu tidak memakai kata ‘perjaka’ di dalam artikel itu?” ujar M. Soegimeriyah, alumnus FIB Universitas Indonesia yang sejak tahun 1991 mengikuti perkembangan feminisme.
Pertanyaan Soegimeriyah cukup menohok. Sebuah pertanyaan satire yang mengindikaskan bahwa di dalam pemikiran penulis artikel (seorang laki-laki), kesucian diri (tubuh) hanya dibebankan kepada perempuan.
“Kebanyakan kebudayaan di dunia ini memang menjadikan perempuan sebagai obyek, bukan subyek. Perempuan diharuskan suci atau peraw4n, sedangkan laki-laki tidak diharuskan perjaka,” imbuh Soegimeriyah.
Agaknya ketimpangan pemikiran semacam itu yang ingin dicoba dihapuskan oleh Google Adsense.
Walau begitu, masih banyak artikel di rimba internet yang memakai kata ‘peraw4n’ (dengan huruf a) dan tetap beredar luas. Agaknya berbagai artikel tersebut tidak terkait Google Adsense. Atau bisa juga mereka sebenarnya mendapat teguran pula dari Google namun teguran itu diabaikan.
“Kenapa dulu ada istilah ‘wanita tuna susila’ alias WTS? Mengapa laki-laki yang datang ke tempat prostitusi tidak disebut ‘pria tuna susila’. Tidak adil kan? Itulah alasan sekarang sebutan WTS sudah tidak digunakan dan diganti dengan PSK (pekerja seks komersial). Mereka adalah pekerja… yang harapannya bisa mendapat perlindungan hukum dan perlindungan sosial lainnya,” tutup Soegimeriyah.
Sampai di sini kita memahami betapa sebuah kata atau frasa mencerminkan kebijakan atau setidaknya prilaku masyarakat, yang bisa berimplikasi serius bagi kehidupan.
Bagi yang berpikir positif, ini pelajaran bermakna.
Leave a Reply