Blessed are they who see beautiful things in humble places where other people see nothing. Camille Pissarro
Camille Pissarro tentu memiliki pandangan yang tajam terhadap alam sekitar, dan juga terhadap kebudayaan. Ia seorang pelukis beraliran impresionis yang karyanya cukup mendunia.
Mata dan logikanya sebagai pelukis dengan mudah bisa menangkap keindahan yang ada di sekitarnya saja, tidak perlu pergi jauh untuk mencari spot yang oleh kebanyakan orang dianggap indah, lalu menerjemahkannya di atas kanvas.
Kata-katanya yang terkenal terasa sederhana dan menyentuh kalbu. Ia tidak bicara keindahan dalam konteks yang rumit serta berkesan adiluhung agar dikagumi kawan atau saingan.
Ia cuma mengatakan, “Orang yang diberkahi adalah mereka yang mampu melihat sesuatu yang indah pada tempat-tempat yang sederhana di mana orang lain tidak melihat apa-apa.”
Luar biasa. Ya, sebuah pernyataan yang bisa mendekonstruksi banyak hal.

Filosofi sang pelukis terus terang menemukan konteksnya ketika kami hendak mengisi akhir pekan dalam rangka ulang tahun seorang anggota keluarga. Dalam usianya yang menginjak 46 tahun, ia merasa kesederhanaan lebih penting ketimbang kecanggihan. Dan impresi general lebih penting daripada kerumitan detail.
Ada sejumlah pilihan. Menonton Teater Koma yang pentas di Museum Nasional, namun acara ini digelar di hari Minggu, padahal keluarga ingin mulai merayakannya di hari Sabtu.
Mungkin ada yang mempertanyakan apakah menonton pementasan teater tidak terasa rumit? Hmm, bisa saja dianggap begitu. Namun, sejak dulu Teater Koma bisa disebut bukan teater yang rumit. Paling tidak, penampilan teater yang didirikan Nano Riantiarno dan Ratna Riantiarno itu tidak semembingungkan pementasan Teater Mandiri besutan Putu Wijaya atau Bengkel Teater milik Rendra.
Terlebih bila dibandingkan dengan “pementasan teatrikal politik yang sangat rumit” yang sempat dimainkan Ratna Sarumpaet, (sebenarnya) seniman yang pernah mendirikan Teater Satu Merah Panggung.
Lakon Teater Koma tidak serumit itu. Kisah yang dimainkan biasanya sederhana, namun enak dinikmati. Tapi, sayangnya, itu hanyalah sebuah pilihan.
Alternatif lainnya adalah makan-makan di luar rumah. Hmm, tapi ini justru terlalu “mainstream” dan sudah kurang menarik. Minim greget.
Tiba-tiba salah seorang anggota keluarga –remaja putri– mengingatkan momentum Hari Pahlawan yang sebentar lagi diperingati, yakni pada 10 November. Anggota keluarga yang lain –juga remaja putri– menimpali, “Emangnya kenapa kalo hari Pahlawan?” Lalu dibalas, “Ya, nggak tau, coba aja pikirin sendiri.”
Perdebatan khas remaja masa kini. Tentu sambil masing-masing tidak menatap lawan bicaranya, melainkan menatap layar handphone.
Dalam situasi seperti ini, sang kepala keluarga yang sedang berulang tahun, mengambil sikap: mendukung pengusul yang mengingatkan soal momentum Hari Pahlawan. Sebab, usul ini menarik, realistis, dan orisinal bila dikaitkan dengan cara merayakan ulang tahun.
RENGASDENGKLOK DAN RAWAGEDE
Ide itu lalu di-breakdown dengan mengingat tempat-tempat seperti Monas, Lubang Buaya, Museum Fatahilah, hingga Taman Makam Pahlawan Kalibata (yang terakhir ini agak ngeledek, karena kami tidak punya leluhur yang dikubur di situ).
Singkat cerita, diputuskan untuk ke Rengasdengklok dan Rawagede, dua tempat bersejarah di Karawang, Jawa Barat.
Di Rengasdengklok ada rumah bersejarah tempat Bung Karno dan Bung Hatta diculik para pemuda pejuang, dua hari sebelum 17 Agustus 1945. Para pemuda meminta kedua tokoh itu memproklamasikan kemerdekaan Indonesia sesegera mungkin, tanpa menunggu tanggal yang direstui Jepang.

(Foto: Autoblarr)
Sedangkan di Rawagede ada monumen dan makam ratusan warga desa korban kekejaman Belanda di masa Perang Kemerdekaan RI tahun 1945 hingga 1949. Menurut kisah sejarah yang bisa ditelusuri di internet via Mbah Google, dalam pencarian terhadap pejuang bernama Lukas Kustaryo dan pasukannya, Belanda melewati Rawagede. Warga tdk memberitahukan ke mana Lukas dkk bergerak. Pasukan Belanda kemudian membunuh empat ratus lebih warga Rawagede, termasuk anak-anak. Sebagian dari mereka kini dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Sampurna Raga.
Seperti kata Pissarro di atas, orang yang diberkahi adalah mereka yang mampu melihat keindahan di tempat-tempat yang orang lain tidak melihat apa-apa. Di sinilah tantangan kami ketika memutuskan menuju Rengasdengklok dan Rawagede.
Bukan soal perjalanan menelusuri tol Jakarta–Cikampek menuju Karawang yang macet. Bukan soal mobil Toyota All New Rush yang akomodatif. Bukan soal remaja putri yang terus bernyanyi via aplikasi Smule Sing Karaoke di dalam Rush via Bluetooth. Dan bukan juga soal remaja lain yang terus melakukan “spaming” di dalam kabin mobil, untuk diunggah ke Instagram.
Ini adalah soal memberi makna bagi perjalanan ini. Kira-kira apa enaknya, dan apa hebatnya, pergi ke Karawang? Sudah jalan tolnya macet, udaranya panas, eh suasananya pun jauh dari kesan indah seperti kalau jalan-jalan ke Puncak, Bogor atau ke pantai Pelabuhan Ratu, Sukabumi.
Tapi tekad sudah bulat. Dan harus berhasil. Ya, berhasil menemukan dan menikmati keindahan di Rengasdengklok dan Rawagede. Meskipun rasanya pesimis. Sebab, itu tadi, dua tempat itu bukanlah Puncak atau Pelabuhan Ratu, apalagi Ubud atau Kuta.
GETARAN-GETARAN MISTIS
Rengasdengklok hanyalah kampung sederhana. Jalanan kebanyakan sudah dibeton. Tapi landscape-nya tidak istimewa. Biasa saja seperti kebanyakan kampung pesisir lain di Jawa Barat. Panas dan cenderung gersang karena sawah-sawah baru saja dipanen.
Memasuki pekarangan rumah tempat Dwitunggal ditempatkan setelah diculik dari Jakarta, mulai terasa ada yang berbeda. Desain bangunan yang kuno, seolah menyambut dengan aura masa lalu yang kental. Itu diperkuat dengan material kayu dan bambu yang mendominasi bangunan. Demikian pula dengan lantainya yang sepertinya hanya ada di rumah itu.
Seorang pria kurus dan agak tua menyambut. “Silakan masuk. Nanti ada Ibu yang akan menemani,” ujarnya.
Benar saja. Beberapa saat kemudian muncul seorang ibu bertubuh subur, berkulit putih, dan kita langsung tau ia Tionghoa.

(Foto: Autoblarr)
Namanya Lani Yanto. “Suami saya namanya Yanto. Ia masih kerja di Jakarta,” ujarnya ramah.
Ia mengaku salah seorang cucu dari Djiaw Kie Siong, pemilik rumah yang sempat menemani Bung Karno dan Bung Hatta ketika ditempatkan di rumah itu oleh para penculiknya. Walau kemudian seluruh penghuni rumah diminta oleh para pejuang untuk meninggalkan tempat, dan hanya ada Bung Karno, Ibu Fatmawati, Guntur Soekarno yang masih balita, serta Bung Hatta di rumah itu.
“Anak Bapak ada sembilan. Cucunya banyak dan saya salah seorang cucu yang sekarang mengurus rumah ini,” ujar Lani Yanto yang mengaku berumur 69 tahun.
Suasana rumah itu agak mistis. Meski secara dekorasional cukup cerah dan semarak dengan dinding hijau muda dan banyaknya bingkai foto Bung Karno. Lebih mistis ketika kita masuk ke dalam kamar eks Bung Karno dan Bung Hatta yang berhadapan.
Keindahan apa yang bisa didapat di tempat ini? Apakah Pissarro bisa menemukannya?
Kita bisa melihat semangat dan ketulusan hati para pejuang muda untuk mewariskan kebanggaan kepada generasi penerus. Bayangkan bila proklamasi tidak segera dilakukan secara mandiri dan menunggu Jepang yang menjadi “event organizer-nya”, maka sekarang tidak akan ada kebanggaan dan gelora di hati kita pada setiap tanggal 17 Agustus.
Mungkin juga tidak ada lagu Garuda di Dadaku yang menggugah semangat anak muda. Tidak ada lagu Gugur Bunga yang mengharukan. Tidak ada upacara pengibaran Sang Merah Putih di Istana Negara yang menggetarkan hati. Dan yang lebih menyakitkan adalah orang Indonesia di seluruh dunia tidak akan menyanyikan Indonesia Raya di mana pun dengan cara yang menggelegar seperti sekarang ini. Maaf, negara tetangga yang kemerdekaannya merupakan hadiah penjajah, lagu kebangsaannya terdengar kurang bersemangat. Bukan begitu?
Itulah secuil keindahan, dari banyaknya keindahan, yang bisa dimaknakan dari rumah bersejarah di Rengasdengklok. Terima kasih Pissarro.
RAWAGEDE YANG MENYAYAT HATI
Untuk selanjutnya, kami bergerak menuju kawasan Rawagede (sekarang bernama desa Balongsari) dan tidak terlalu jauh dari Rengasdengklok. Sekitar dua puluh menit berkendara kalau jalanan lancar dan mobil Anda selincah Rush yang piawai melintasi kelokan serta enak diajak manuver di jalanan sempit di persawahan.
Para remaja di dalam mobil pun tenang-tenang saja. Sejauh kuota internet mereka mencukupi. Sebab rumah bersejarah tadi cukup Instagramable, dan dijanjikan kepada mereka bahwa Monumen Rawagede lebih Instagramable lagi. Selain tentu saja teman-teman mereka belum pernah ada yang ke sini.

(Foto: Autoblarr)
Jajaran makam berwarna putih, dengan nama yang jelas tertera, memberi kesan pertama yang luar biasa: alangkah kejamnya pasukan Belanda yang bisa membunuh 431 warga desa dalam sehari.
Kebanyakan yang dibunuh pada pagi hingga sore hari tanggal 9 Desember 1947 itu adalah pria dewasa dan laki-laki remaja. Desa Rawagede pun menjadi ‘desa janda’ dalam sekejap.
Menurut Sukarman, tokoh setempat, para janda memakamkan suami dan anak laki-lakinya di halaman rumah masing-masing, dengan kedalaman lubang yang dangkal, karena ketidakmampuan wanita menggali hingga kedalaman ideal.
Belakangan, makam-makam di depan rumah itu dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Sampurna Raga, tepat di belakang Monumen Rawagede. Namun hanya 181 makam yang dipindahkan karena keterbatasan lahan.
Mengapa pembantaian warga desa bisa terjadi? Kita bisa melihat banyak artikel soal ini di internet via Mbah Google. Namun intinya adalah pelampiasan kekesalan Belanda karena tidak mampu mengalahkan pejuang Indonesia.
Dalam Perang Kemerdekaan RI tahun 1945 hingga 1949, Belanda mencari pejuang bernama Lukas Kustaryo dan pasukannya, Belanda melewati Rawagede. Warga tidak memberitahukan ke mana Lukas dkk bergerak. Pasukan Belanda kemudian membunuh empat ratus lebih warga Rawagede, termasuk anak-anak.
Dalam hal ini, kita bisa mendapatkan makna bahwa setelah Proklamasi dikumandangkan, penderitaan rakyat belum usai. Justru kekejaman penjajah semakin menjadi-jadi. Belanda berusaha menguasai kembali Indonesia dengan segala cara. Termasuk mengirimkan pasukan keji di bawah komando Kapten Westerling. Manusia tanpa nurani ini menurut riwayat sejarah telah membunuh ribuan warga di Sulawesi Selatan.
Di Rawagede, komandan pasukan Belanda bernama Mayor Alphons Wijnen. Ia membawa 300 pasukan untuk mencari pejuang Lukas Kustaryo dkk. Namun tidak menemukan sosok yang dicari dan melampiaskan ketidakmampuannya kepada warga sipil.
“Pada 9 Desember 2012, pemerintah Belanda meminta maaf secara resmi atas peristiwa Rawagede. Mereka juga memberikan kompensasi bagi janda korban dan keturunannya. Termasuk bagi korban yang sudah ditembak beberapa kali tapi ternyata masih hidup,” jelas Sukarman yang juga ketua Yayasan Rawagede. Ia turut memperjuangkan kompensasi itu hingga ke Belanda. Paman Sukarman termasuk salah satu korban.
Keindahan apa yang bisa diperoleh dari tempat seperti Rawagede?
Instagramable tentu saja. Tapi yang lebih bermakna adalah kita bisa lebih mantap untuk menghargai orang lain. Ketika kita merasa sudah banyak berbuat untuk diri sendiri, untuk keluarga, atau untuk orang lain, ternyata ada pihak yang rela mengorbankan nyawanya: memilih mati daripada mengkhianati perjuangan kemerdekaan Indonesia.
“Kalau pejabat jaman now punya semangat seperti mereka, mungkin Indonesia bisa lebih baik dibanding sekarang ya,” ujar seorang remaja putri dari bangku belakang Rush.
Ah, rupanya ia diam-diam menghayati perjalanan ini, meski jemarinya tak bisa berhenti bermain di layar handphone. Penghayatan yang mungkin akan dibawanya sampai dewasa. Dan membentuk kepribadiannya. Inilah hadiah ulang tahun terindah. Terima kasih Pissarro.

(Foto: Autoblarr)

Penulis: M. Hasan (Pemimpin Redaksi Autoblarr)
* Silakan klik logo Autoblarr di atas untuk kembali ke halaman muka dan melihat berbagai artikel menarik lainnya.
Leave a Reply