Sopir bus, truk, atau travel sering terlihat melajukan kendaraannya secara ugal-ugalan di jalan tol. Kecelakaan yang melibatkan mereka pun kerap terjadi. Ada anggapan bahwa nyali para supir itu memang lebih nekat dibanding orang kebanyakan.
Bahkan ada mitos yang mengatakan nyali mereka seperti “pembunuh” karena di antara para supir itu ada yang pernah menabrak orang atau kendaraan lain hingga menyebabkan kematian.
“Mereka yang pernah menabrak orang sampai meninggal lebih disukai oleh beberapa perusahaan travel,” ujar Sony Susmana, pendiri dan instruktur SDCI (Safety Defensive Consultant Indonesia) sebuah sekolah mengemudi yang pernah mengajar Kopassus, Paspampres, unit TNI lainnya, Polri, dan berbagai perusahaan pertambangan.
“Mereka lebih disukai karena lebih berani mengambil risiko ngebut di perjalanan untuk lebih cepat sampai tujuan dibanding yang lain,” imbuh Sony.
“Saya kasih contoh, ada sebuah perusahaan travel di Sumatra yang sistem recruitment pengemudinya, pertanyaan nomor 1, sudah pernah nabrak orang dan meninggal belum? Kalau pernah, langsung diterima,” ujar Sony.
Mengapa supir-supir itu cenderung ingin ngebut? “Mereka dikejar ritase (total jumlah perjalanan bolak balik yang bisa ditempuh). Selain itu, kalau mereka tepat waktu akan dapat insentif, sedangkan kalau terlambat beberapa kali, akan dievaluasi,” jelas Sony.
Walhasil, banyak supir travel, bus, dan truk yang ngebut karena mengejar waktu kedatangan di tempat tujuan, yakni tidak boleh terlambat. Cara berkendara yang ugal-ugalan itulah yang menyebabkan kecelakaan.

Bagaimana cara mengurangi kecelakaan di jalan tol?
Sony Susmana mengatakan banyak faktor yang harus diperbaiki untuk mengurangi angka kecelakaan di jalan tol. Sebut saja misalnya pengawasan dan penindakan dari penegak hukum/pengelola jalan tol.
“Hendaknya pengelola tidak menutup mata. Mudah sekali melihat mereka yang ugal-ugalan, tidak tertib, dan agresif. Mereka-mereka ini penyumbang kecelakaan yang rutin sampai dengan yang fatal. Ketika terhadap aksi mereka dilakukan pembiaran, maka kita hanya tinggal menunggu waktu saja, tidak peduli usia, gender, bahkan safety driver pun bisa jadi korbannya,” papar pria gagah tapi ramah itu.
“Mengapa hanya fokus kepada masalah setelah kejadian? Kenapa tidak dilakukan tindakan prefentif sebelum kecelakaan?” tanya Sony. “Gunakan properti-properti yang canggih dan umum pada saat ini, seperti speed gun, speed trap, spy camera, sampai drone. Kenapa enggak?”
Sony pun menyarankan solusi lainnya. “Berikan edukasi keselamatan yang dilakukan secara bertahap oleh semua pihak. APM kasih gift berupa edukasi keselamatan buat konsumennya, jangan hanya jualan dan jualan saja. Polisi sebagai regulator dan penerbit sertifikasi mengemudi, evaluasi sistem yang ada sekarang karena mereka paling tahu saat ini, dan sekecil apapun pelanggarannya lakukan penegakan hukum secara tegas.”
“Selain itu, Jasa Marga sebagai pengelola jalan tol, lakukan modifikasi-modifikasi dalam pengawasan di lapangan.”
“Provider safety driving harus melengkapi kemampuan hard skill dan soft skill para pengemudi, yang sayangnya saat ini masih dipandang sebelah mata.”
“Orang tua dan guru, yang membangun mental dasar dari masing-masing generasi, juga harus berperan.”
“Salah satu saja poin tersebut di atas tidak berjalan atau timpang, maka semakin berat dan susah untuk mengubahnya.”
“Mengemudi dengan teknik safety memang harus, tapi bukan berarti bisa terhindar dari kecelakaan, karena di jalan raya tidak semua pengemudi berlevel safety. Jadi fungsi mendalami safety driving ini hanya untuk menghindari/meminimalkan risiko kecelakaan,” tutup Sony.
Leave a Reply