Tentu saja Joker bukanlah film yang dibuat untuk memaklumi prilaku jahat seseorang. Layaknya film Hollywood, ia bicara muatan moral tertentu di balik apa pun model ceritanya. Tetapi terus terang, layar perak garapan sutradara Todd Phillips ini cenderung mengarah ke gaya film dark.
Tapi bukan dark ala Saving Private Ryan yang muram dengan adegan kematian dan perang sepanjang film. Bukan pula semuram Schindler’s List yang bikin mual penonton. Dark-nya Joker ini tetap mengandung nuansa komedi. Bahkan mungkin hanya di film ini penonton bisa tertawa hanya beberapa detik setelah Joker membunuh temannya dengan sadis.
Memang sih eksplorasi terhadap kekurangwarasan Joker sebagai tokoh utamanya begitu gamblang. Berbagai adegan pembunuhan yang dilakukan Joker ditampilkan begitu nyata, lengkap dengan muncratan darah di mana-mana ketika ia menusuk leher dan mata temannya dengan gunting (tapi setelah adegan ini, percaya atau tidak, penonton di ruang bioskop banyak yang tertawa melihat adegan lain yang hanya berselang beberapa detik saja).
Hanya beberapa pembunuhan lain yang diperhalus, misalnya ketika ia membekap ibu angkatnya dengan bantal, dan juga pembunuhan terhadap terapist psikologisnya yang tidak diperlihatkan.
Namun, anehnya, ketika Joker melakukan pembunuhan demi pembunuhan, penonton seolah merasa “terhibur”. Joker seolah menjadi pahlawan dalam pertentangan antara orang kaya (dan juga pembuli) melawan orang yang lemah dan bernasib sial dalam hidupnya. Dan ketika orang yang sial dan tertindas ini bisa bangkit melawan, penonton merasa senang. Itulah kehebatan film ini, mampu membuat seorang villain menjadi hero.
Ketika di dalam film-film Batman tokoh Joker menjadi villain, kita mungkin sama sekali tidak menaruh keberpihakan hati kepada Joker. Namun di film Joker yang satu ini, kita akan mudah membela kemalangan dan nasib sial Joker, dan mungkin memaklumi kondisi mental Joker, termasuk sejumlah pembunuhan yang dilakukannya.
Ini adalah film tentang seorang psikopat yang diperankan dengan sangat baik oleh aktor Joaquin Phoenix. Ketika pada tahun 2000 ia memerankan Commodus dalam film kelas Oscar (Gladiator), Joaquin memang berhasil masuk nominasi Academy Award. Dan saat menjadi Joker, terlihat aktingnya sangat luar biasa. Boleh dibilang, ini adalah film yang berhasil dimainkan oleh Joaquin menjadi film yang sangat fokus pada permainan watak aktor utamanya.
Mirip dengan film-film yang dimainkan aktor kelas Oscar lainnya, Anthony Hopkins, yakni Silence of the Lambs, Hannibal, Hannibal Rising, dan Red Dragon yang juga tentang psikopat. Namun bila Anthony Hopkins dibantu oleh akting hebat aktor lain seperti Jodie Foster, Edward Norton, dan Ralph Fiennes di dalam sejumlah film itu, justru Joaquin Phoenix benar-benar ibarat aktor tunggal yang mendominasi akting sepanjang film Joker.
Untuk penikmat film yang sudah beranjak naik dari genre semacam Avengers, Thor, dan sejenisnya, film Joker ini jelas lebih menantang. Selepas menikmatinya, kita bisa mengelaborasi persoalan konflik sosial yang bisa terekskalasi menjadi kakacauan sosial, sebagai akibat perselisihan kaya versus miskin yang dibiarkan berlarut-larut di dalam suatu masyarakat.
Kita pula bisa mengelaborasi persoalan kekurangmampuan sistem sosial kita di dalam membina keluarga dan mendidik anak-anak, sehingga muncul generasi yang terluka batin sangat dalam, lalu mendendam kepada siapa pun yang dianggap pernah atau berpotensi menyakiti dirinya (psikopat).
Dan terakhir, Joker berkata sebelum menembak mata seorang publik figur dari jarak dekat, “Kalau saya mati, maka orang-orang akan melangkahi mayat saya. Tapi kalau kalian (orang kaya) mati, akan mendapat perlakuan yang berbeda.”
Kecemburuan sosial yang sudah menjadi api dalam sekam pada masyarakat Gotham, langsung tersulut dan berkobar akibat ucapan dan perbuatan Joker. Kita perlu banyak belajar dari film ini, film terbaik Hollywood yang diputar di Indonesia tahun 2019.
Dan perlu diingat, Joker bukanlah film fantasi “murahan” seperti tentang Superman, Batman, Cat Woman, Wonder Woman, Avengers, Thor, atau Black Panther. Joker yang satu ini adalah film realistis kelas Academy Award. Blarr!
Penulis: M. Hasan, pengamat dan pemerhati film, alumnus FIB UI.
Leave a Reply