Hari Bumi diperingati di seluruh dunia pada setiap tanggal 22 April. Tapi apakah kita pernah peduli dengan pandangan bahwa Bumi ini bukanlah sebuah bola yang melayang-layang di angkasa, melainkan sebuah bidang datar yang di atasnya ada pulau, benua, dan lautan?
Padahal sejak kecil kita dikenalkan dengan bentuk Bumi yang bulat seperti bola, baik di pelajaran sekolah maupun omongan sehari-hari di rumah.
Biasanya hari Bumi diperingati lebih terkait fungsi Bumi sebagai ekosistem yang harus dijaga kelestariannya. Dan konsep Bumi yang bulat atau datar sangat menentukan cara pandang kita tentang kelestariannya.
Awalnya Bumi dianggap sebagai pusat semesta oleh budaya Yunani Kuno via pendapat Aristoteles dan Claudius Ptolemaeus. Pandangan ini disebut geosentris. Matahari, bulan, dan benda-benda langit lainnya diasumsikan mengitari Bumi.
Teori Bumi datar –yang juga geosentris– mirip dengan pemikiran Aristoteles dan Ptolemaeus itu, namun bentuk Buminya datar dengan kubah pelindung di atasnya, bukan benda bulat yang di permukaannya menempel air lautan, pulau, dan benua.
Sementara itu, teori yang berlawanan adalah heliosentrisme, di mana matahari adalah pusat alam semesta, dan bumi mengelilinginya bersama benda-benda langit lainnya.
Sebagaimana dirilis Wikipedia, diskusi soal heliosentrisme terjadi sejak zaman klasik. Barulah di abad ke-16 ditemukan model matematis yang bisa mengasumsikan secara lengkap sistem heliosentris via otak Nicolaus Copernicus, seorang ahli matematika dan astronom.
Pada abad berikutnya, model itu dijabarkan dan diperluas oleh Johannes Kepler dan pengamatan pendukung memakai teleskop oleh Galileo Galilei. Tetapi pada masa Renaisans, banyak yang tidak percaya pada teori ini.
Dengan observasi Wiliam Herschel, Friedrich Bessel, beserta ahli lainnya, para astronom menyadari bahwa matahari bukan pusat alam semesta seperti heliosentrisme ala Copernicus. Pemikiran modern mengatakan bahwa alam semesta tidak punya lokasi pusat yang spesifik, seperti prinsip relativitasnya Albert Einstein.
Sekolah di seluruh dunia mengajarkan heliosentrisme modern ala Albert Einstein hingga sekarang. Bumi berbentuk bulat, mengelilingi matahari bersama delapan planet lain di dalam tata surya (solar system), dan tata surya bergerak mengelilingi pusat galaksi Bima Sakti (milky way), lalu galaksi Bima Sakti juga bergerak ke arah yang belum diketahui.
Sekolah juga mengajarkan Bumi berotasi pada sumbunya dengan kecepatan sekitar 1.600 km/jam. Lalu Bumi mengelilingi matahari (revolusi) dengan kecepatan 107.000 km/jam. Namun sekolah tidak menjelaskan secara gamblang mengapa rotasi dan revolusi sekencang itu tidak kita rasakan.
Sementara itu, teori Bumi datar menurut Wikipedia adalah konsepsi lawas dari masa Yunani Kuno, zaman Hellenistik India, sampai zaman Gupta (awal abad-abad Masehi), dan asumsi di Tiongkok sampai abad ke-17. Asumsi itu juga biasanya dipegang oleh budaya-budaya asli benua Amerika.
Adapun teori Bumi datar modern dikemukakan oleh Samuel Birley Rowbotham (lahir tahun 1884). Ia adalah penulis Inggris yang menulis Zetetic Astronomy: Earth Not a Globe di bawah nama samaran Parallax. Karya awalnya diterbitkan sebagai pamflet setebal 16 halaman, dan kemudian diperluas menjadi buku.
Secara sporadis banyak kelompok yang mengikuti pandangan Rowbotham di berbagai negara. Bahkan mereka melakukan sejumlah eksperimen, seperti mengukur jarak matahari ke Bumi dengan rumus Phitagoras dan mengklaim jaraknya hanya 5 ribu km di atas permukaan Bumi.
Adapun diameter matahari diperkirakan hanya sekitar 50 km. Jadi matahari ukurannya relatif kecil dibanding Bumi, namun punya energi yang sangat besar.
Mereka juga meneropong bagian bawah kapal laut dari jarak belasan kilometer dan mengklaim masih bisa melihatnya (membuktikan tidak ada permukaan samudra yang melengkung, sebab secara hukum fisika permukaan air selalu rata), dan berbagai eksperimen lainnya.

MERIAHNYA BUMI BOLA VS BUMI DATAR DI INDONESIA
Sejak dua tahun lalu teori Bumi datar (flat earth) mewabah di Indonesia. Booming disebabkan munculnya video-video Youtube dari kanal Boss Darling (Flat Earth 101). Penjelasan yang gamblang dan narasi yang meyakinkan membuat subscribernya kini mencapai 245 ribu. Kanal ini termasuk yang terbesar di dunia untuk urusan Bumi datar.
Namun, sebagaimana dikatakan Prof. Thomas Djamaluddin, Kepala LAPAN (Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional) di laman pribadinya (tdjamaluddin.wordpress.com), teori Bumi datar hanyalah dongeng sebelum tidur.
“Muncul hanya karena kekurangpahaman terhadap gravitasi,” ujar Thomas di awal tahun 2018.
Sanggahan profesor lulusan ITB itu justru membuat komunitas Flat Earth 101 meradang, dan membuat petisi di change.org yang menantang Thomas menjelaskan ucapannya.
Boss Darling, admin forum Komunitas Bumi Datar Indonesia di laman fe101.freeforums.net adalah si membuat petisi itu.
Boss Darling menulis bahwa ia berharap petisi ini bisa jadi “awal pembuka jalan terwujudnya people power as soon as possible.”
Yang menarik, Boss Darling digambarkan identitas aslinya di dalam komunitas itu sebagai ‘pimpinan sebuah perusahaan besar berskala internasional’.
Di media sosial Facebook, kerap terjadi adu mulut antara kelompok penganut Bumi datar (flat earth, disingkat FE) dan penganut Bumi bola (globe earth, disingkat GE). Terkadang tak segan mereka saling mencaci.
Dan anehnya, penganut Bumi datar kerap diidentikkan dengan “kampret” (sebutan untuk pendukung capres Prabowo Subianto), sedangkan penganut Bumi bola diidentikkan dengan “cebong” (sebutan untuk pendukung Joko Widodo).
Rupanya polarisasi politik di Indonesia telah merambah pula ke ranah yang seharusnya bisa diselesaikan secara ilmiah.
Namun, masalah besarnya, komunitas Bumi datar telanjur memproklamirkan ketidakpercayaannya kepada lembaga ilmiah seperti NASA (lembaga penerbangan dan antariksa Amerika Serikat).
NASA dianggap membuat foto-foto hoax Bumi sejak puluhan tahun lalu, dan dianggap membuat konspirasi global tentang pendaratan manusia di bulan yang tidak pernah terjadi.

“NASA bekerja seperti industri film Hollywood,” demikian ujar Boss Darling di dalam salah satu videonya.
Ia pun menyebut banyaknya video animasi yang dibuat NASA untuk menggambarkan eksplorasi angkasa dan pendaratan wahana robot di planet lain. Ia mempertanyakan mengapa semuanya hanya animasi. Dan mengapa foto-foto dari NASA hampir semuanya CGI (computer generated image).
Komunitas Bumi datar pun tidak percaya kepada LAPAN yang dianggap sebagai perpanjangan tangan NASA.
Dan yang lebih berat lagi masalah di antara dua kelompok itu adalah flat earth tidak mengakui adanya gravitasi.
KONEKSI BENTUK BUMI DENGAN KELESTARIANNYA
Menurut kaum flat earth, karena Bumi adalah hamparan yang datar, dan dilingkupi oleh kubah selestial (sekaligus pelindung), maka tidak diperlukan gravitasi.
Manusia dan benda lain melekat di permukaan Bumi karena ada dorongan (push) dari atas, bukan tarikan (pull) dari bawah.
Mereka pun meyakini adanya energi elektromagnetik yang membuat matahari mengambang dan berkeliling di atas hamparan Bumi.
Perputaran matahari itu menghasilkan pergantian siang dan malam di berbagai tempat di muka Bumi. Matahari diasumsikan berjarak 5 ribu km di atas permukaan Bumi, dan berdiameter sekitar 50 km.
Bulan pun serupa, yakni mengambang di atas hamparan Bumi dan berkeliling membentuk siklus bulan yang kita kenal selama ini.
Penganut Bumi datar pun tidak terima bila dikatakan Bumi adalah cakram yang melayang-layang di angkasa. Menurut mereka, Bumi adalah hamparan yang diam (realm) dan belum diketahui bentuk keseluruhannya, karena belum pernah ada manusia yang bisa keluar dari kubah Bumi lalu memotretnya dari atas.
Video-video Boss Darling menggambarkan dengan lantang soal empat musim, dua musim, gerhana matahari, gerhana bulan, bintang-bintang, navigasi penerbangan, navigasi pelayaran, arah kompas, sanggahan terhadap satelit, koneksi internet, telekomunikasi seluler, dan sebagainya.
Bagi flat earther, Bumi adalah tempat spesial yang tiada duanya. Manusia tidak bisa keluar dari atmosfer Bumi karena ada kubah yang menghalangi. Maka tidak ada alternatif tempat tinggal lain.
Sedangkan kaum globe earther menganggap manusia bisa keluar dari atmosfer Bumi, dan mencari planet lain sebagai alternatif tempat tinggal.

Prinsip mana yang lebih mendorong manusia untuk menjaga kelestarian Bumi secara sungguh-sungguh?
Terlebih di saat sekarang ketika keluhan pemanasan global (efek rumah kaca) semakin terasa. Hal ini jadi sangat mengkawatirkan karena bila suhu permukaan Bumi naik beberapa derajat saja, maka wabah penyakit bisa merajalela. Belum lagi isu pencairan es di kutub yang bisa menenggelamkan banyak wilayah pantai.
Terlepas dari perdebatan soal bentuk Bumi, sudah sepantasnya kita semua menjaga “kesehatan” Bumi mati-matian.
Dan tidak memberi ruang untuk berpikir, “Ah, biarin Bumi rusak, toh nanti bisa pindah ke planet lain.”
Sebab kenyataannya, sampai saat ini migrasi manusia ke luar Bumi masihlah sebuah wacana yang sangat jauh panggang dari api.
Leave a Reply