Karena artikel ini dibuat di saat Piala Dunia digelar, maka prolognya begini: Sutan Sjahrir, salah satu bapak bangsa di samping Soekarno dan Mohammad Hatta, gemar main sepak bola meski bukan seorang pemain profesional.
Ketika dibuang Belanda ke Bouven Digul, ke Bangka, dan tempat-tempat lain, Sjahrir mengisi waktu antara lain dengan bermain sepak bola.
Seperti itu? Ah, mungkin tidak terlalu penting soal hobi Sjahrir main sepak bola.
Sebab kisah cinta perdana menteri pertama Indonesia ini lebih menarik disimak ketimbang kiprahnya sebagai penyerang tengah yang tanpa prestasi. Semoga jadi bacaan yang inspiratif di musim liburan seperti sekarang ini.
DIPENJARAKAN SAHABATNYA SENDIRI
Sjahrir lahir di Medan tanggal 5 Maret 1909 dari keluarga bangsawan. Ayah Sjahrir memiliki enam istri, dan Sjahrir adalah anak dari istri kelima, Siti Rabiah.
Otak Sjahrir encer sehingga prestasinya tinggi di sekolah. Ia juga jujur dan berani, serta pandai bergaul. Itulah karakter yang membawanya sukses di dunia politik, menjelang dan sesudah kemerdekaan Indonesia. Ia diangkat oleh Soekarno menjadi perdana menteri pertama RI.
Namun di kemudian hari ia berseberangan dengan presiden Soekarno dan dijebloskan ke penjara oleh bekas sahabatnya itu. Sjahrir kemudian meninggal dunia di Zurich, Swiss, dalam perawatan akibat stroke yang pernah menyerangnya.
Pada 15 Maret 1966, enam hari setelah Sjahrir wafat, Soekarno yang masih resmi menjabat presiden (meski Supersemar sudah ditandatanganinya) merilis dekrit yang isinya menetapkan Sjahrir sebagai pahlawan nasional, dan memerintahkan pemakaman kenegaraan di Taman Makam Pahlawan Kalibata dengan penghormatan penuh.
KISAH CINTA YANG LAYAK DIFILMKAN
Amsterdam adalah kota yang menggairahkan Sjahrir. Dia menemukan idealisme di kota ini. Juga teman-teman sealiran. Salomon Tas, wartawan berhaluan kiri, yang saat itu menjabat Ketua Sociaal Democratische Studenten Club (Perkumpulan Mahasiswa Sosialis Demokrat) Amsterdam, adalah salah satu sahabat dekat Sjahrir.
Berdarah Yahudi, Tas lahir dalam keluarga sederhana, terdidik, serta amat antikolonial. Mahasiswa Hindia Belanda yang sedang bersekolah di negeri itu, termasuk Sjahrir, segera menjadi kawan-kawan dekatnya.
Persahabatan dengan Tas kian erat ketika kakak Sjahrir, Siti Sjahrizad –alias Nuning– harus kembali ke Hindia Belanda pada 1931. Di rumah Nuning di Amsterdam Selatan itu tadinya Sjahrir tinggal, sejak datang pada Juni 1929. Tas kemudian menawarkan apartemennya sebagai tempat tinggal Sjahrir.
Di apartemen itu, Tas tinggal bersama istrinya, Maria Johanna Duchateau, dan dua anak mereka yang masih kecil-kecil. Di rumah itu tinggal pula teman perempuan Maria bernama Judith van Wamel.

Tas, Maria, Judith, dan Sjahrir sama-sama menggemari sastra, film bermutu, dan musik. Mereka menonton film dan teater di Stadsschouwburg dan menghadiri pertemuan politik di bar Americain.
Restoran terkenal Bohemien di kawasan Lange Leidse Dwaarstraat menjadi tempat berkumpul Sjahrir dan teman-temannya. Di restoran inilah Tas membentuk kumpulan Mahasiswa Sosialis Demokrat.
Perkawanan itu ternyata melahirkan asmara antara Sjahrir dan Maria, istri Tas. Perempuan peranakan Belanda-Prancis ini berpikiran maju dan banyak membantu Tas dalam aktivitas politiknya. Pernikahannya dengan Tas pada tahun-tahun itu sedang gersang.
Tas tidak punya waktu untuk Maria dan anak-anak mereka. Hidupnya hanya untuk politik.
Tidak perlu waktu lama bagi Sjahrir untuk merebut Maria. Sebenarnya itu tidak bisa disebut merebut, karena Tas tahu hubungan sahabatnya dengan Maria. Bahkan dia sendiri sudah mulai berhubungan dengan Judith.
Kees Snoek yang mempublikasikan kembali surat-surat Sjahrir kepada Maria, mengisahkan bahwa kehidupan mahasiswa pergerakan saat itu amatlah bebas.
Sjahrir serius menjalin cintanya dengan Maria. Ketika hendak pulang ke Hindia Belanda pada 1932, ia meminta Maria ikut. Kepada Mieske, panggilan sayangnya kepada Maria, Sjahrir menyatakan kekasihnya bisa membantu kaum perempuan Hindia Belanda di bidang pergerakan.
Sjahrir juga ingin menikahi Maria di Hindia Belanda kelak. Sesuai dengan rencana, dia pulang lebih dulu mengambil alih pimpinan Partai Pendidikan Nasional Indonesia.
Menurut Snoek, ketika itu Hatta, yang diplot sebagai pemimpin, belum selesai studinya. ”Sjahrir diputuskan kembali ke lndonesia lebih dulu,” ujarnya.
Maria, rencananya, akan menyusul bersama anak-anaknya empat bulan kemudian jika perceraiannya dengan Tas sudah beres. Medan menjadi tempat pertemuan mereka.
Dari Batavia, Sibi –begitu Maria memanggil Sjahrir– berangkat ke Medan, sementara Maria dan dua anaknya berlayar dari Kolombo ke Medan. Pertemuan itu akhirnya berlangsung pada April 1932. Pada tanggal 10 bulan itu, Sibi dan Mieske menikah di sebuah masjid di Medan.
Keduanya menginap di rumah tempat Sjahrir tinggal sebelum bersekolah ke Jawa. Mereka tidak pulang ke Koto Gadang karena “tidak punya uang untuk pulang kampung.” Rencananya, Sjahrir akan mengajak Maria ke Jawa.
Sjahrir rupanya tidak sadar tindakannya menikahi perempuan kulit putih bisa dianggap provokasi. Meski Medan ketika itu termasuk kota Hindia Belanda yang ramai, pasangan Sjahrir-Maria segera mengundang gunjingan. Apalagi mereka juga datang ke tempat-tempat pertunjukan musik, film, dan teater, yang ramai disambangi orang kulit putih.
Maria, yang gemar berkebaya dan memakai kain, segera mengundang perhatian orang Belanda. Mereka bertanya, mengapa Maria mengenakan pakaian pribumi.
Empat hari setelah pernikahan mereka, Sumatran Post koran terbesar di Medan saat itu, menulis tentang Maria: “Perempuan bersarung kebaya dalam penyelidikan polisi.”
Sebulan lewat, polisi mulai menyelidiki dokumen pernikahan Maria. Mereka menemukan Maria menikah dengan Salomon Tas, aktivis pergerakan antikolonial. Selain itu, Tas ternyata belum menceraikan Maria secara resmi. Karena Maria menikah secara Islam pada saat belum bercerai, keruan saja para pemuka agama jadi ikut ribut.
Lima pekan setelah akad, pada 5 Mei 1932, pernikahan Sjahrir dibatalkan oleh pemuka agama setempat. Maria dipulangkan ke Belanda lima hari kemudian. Yang membuat hati Sjahrir pedih, Maria tengah mengandung anak laki-laki mereka.
Keinginan Sjahrir untuk segera menyusul sang istri ke Belanda ternyata penuh rintangan. Rentetan kejadian tragis kemudian menimpa Sjahrir.
Hatta akhirnya pulang dari Belanda, tapi mendapat kecelakaan ketika mengunjungi orang tuanya di Sumatra. Sjahrir kembali mengundurkan niat ke Belanda. Surat Maria juga sudah lama tidak datang.
Belakangan datang kabar dari Maria yang menyebut kematian bayi mereka sesaat setelah dilahirkan. Hubungan Sjahrir dan Maria kembali terjalin. Mereka kembali bersurat-suratan. Sjahrir meneguhkan niatnya menyusul Maria. Apalagi ia sudah mengantongi izin dari Pendidikan Nasional Indonesia untuk kembali bersekolah di Belanda.
Rencananya, ia berangkat menumpang kapal uap S.S. Aramis dari Batavia pada Maret 1934 dengan bekal uang kiriman Maria. Celaka, akhir Februari itu, Hatta ditangkap. Sjahrir, yang bersembunyi di rumah adik tirinya, Radena, ditangkap polisi sehari kemudian.
Meski pertemuan dengan sang kekasih hati lagi-lagi kandas, hubungan Sjahrir dan Maria kian hangat lewat surat menyurat. Maria menjadi satu-satunya tempat curahan hati yang memahami kesulitannya.
Dua tahun setelah penahanan Sjahrir, mereka kemudian menikah kembali, 2 September 1936. Pernikahan jarak jauh itu diwakili oleh pelukis Salim.
Sjahrir, yang berada dalam pembuangan di Banda Neira, berangkat ke kantor gubernur. Sayang, pernikahan jarak jauh menciptakan suasana yang tidak sehat dan penuh ketegangan.
Untuk meredam masalah, Sjahrir meminta Maria menyusulnya ke Banda Neira. Keinginan itu gagal karena Maria tak punya cukup uang.
Akhir 1939, ketika Maria sudah punya uang, tidak ada kapal lagi yang menuju Hindia Belanda. Perang Dunia Il sudah berkobar. Kembali mereka hanya surat-menyurat.
Setelah Indonesia merdeka dan Sjahrir menjadi perdana menteri pertama, tidak juga ada kabar baik bagi keduanya. Nyala cinta mereka mulai redup. Sebuah pertemuan di New Delhi, india, pada April 1947 menjadi penentu akhir perjalanan mereka.
Ketika itu, Nehru rupanya hendak membikin kejutan bagi Sjahrir. ”Ia tidak bilang akan mengundang Maria,” kata Snoek.
Pada pikiran Nehru, apalah salahnya mengundang Maria, yang masih jadi istri Sjahrir. Nehru tak tahu kala itu asmara sudah terjalin antara Sjahrir dan asistennya, Poppy.

Pertemuan setelah 15 tahun itu berlangsung dingin. Maria, bersama Nehru dan putrinya, Indira Gandhi, menyambut Sjahrir yang didampingi Poppy di bandar udara.
Dalam sebuah wawancara pada 1988, Maria menyebut betapa Sjahrir sudah jauh berubah. ”Mungkin karena ia sudah menjadi negarawan.”
Sjahrir merangkul Maria dan menempelkan pipinya ke pipi Maria. Setahun kemudian, api cinta lama itu benar-benar padam. Keduanya memutuskan bercerai pada 12 Agustus 1948.
Belakangan, Maria menikah dengan adik Sjahrir, Soetan Sjahsyam, yang bersekolah di Belanda.
Sejak kembali ke Belanda, Maria tinggal bersama Sjahsyam, yang ikut membesarkan anak-anak Maria dari perkawinannya dengan Tas.
Adapun Sjahrir kemudian menikah dan berketurunan dengan Poppy. Menjelang kematian Sjahrir, wajah Sjahrir dicetak dengan gips oleh Poppy dan gips itu disimpan untuk sesekali dipandangi oleh Poppy. Sampai meninggal dunia pada tahun 1999 dalam usia 79 tahun, Poppy Sjahrir tidak pernah menikah lagi.
* Kisah cinta Sutan Sjahrir di atas dicukil dari buku berjudul ‘Sjahrir, Peran Besar Bung Kecil’ karya tim Tempo yang diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) tahun 2017.
mau nonton movie gratis? langsung aja kunjungi website kami di xxinonton.com nonton film indonesia, barat, jepang dan lainnya.